PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM

Posted: 5 Oktober 2014 in Tak Berkategori

A. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di berbagai media seperti televisi, surat kabar atau koran, selalu muncul kritik dari berbagai kalangan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia oleh aparat penegak hukum, terutama dalam proses peradilan yang dinilai tidak konsisten dalam menegakan hukum dan memberi rasa keadilan.
Kritik dari berbagai kalangan masyarakat ini terjadi karena dalam berbagai praktek peradilan sering terjadi kesenjangan dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, sehingga dari sinilah timbul pandangan masyarakat yang berbeda-beda dalam menilai penegakan hukum. Ada yang mengatakan bahwa hukum itu tidak adil, hukum itu memihak atau berat sebelah, hukum itu pilih kasih, penegak hukum dapat disuap, mafia hukum dan mafia peradilan ada di mana-mana. Bahkan ada yang mengatakan sebaiknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diganti dengan istilah Kasih Uang Habis Perkara, dan masih banyak lagi pandangan serta istilah-istilah lainnya yang sering kita dengar dari masyarakat dalam menilai hukum itu. Hal seperti ini akan saja terus terjadi jika terdapat ketidakadilan dalam suatu proses peradilan.
Adil atau tidak, benar atau salah suatu putusan pengadilan, terletak di tangan hakim. Hakim adalah pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dalam sidang pengadilan. Sering kali, dalam menangani suatu perkara sampai pada putusan akhir, hakim tidak cermat dalam melihat berbagai hal terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Misalnya, kesesuaian antara jenis tindak pidana apa yang dilakukan terdakwa dengan fakta-fakta persidangan. Selain itu hakim juga tidak melihat nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah atau berpengaruh dalam putusan, lebih khusunya hukuman atau pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
Negara Indonesia adalah negara hukum; demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan pada bunyi pasal tersebut, maka di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam pasal 1 (satu) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”
Dalam Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 disebutkan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Berpijak dari Undang-Undang tersebut maka dalam mengadili suatu perkara yang dihadapinya hakim akan bertindak sebagai berikut :
a. Dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas tinggal menerapkan saja hukumnya.
b. Dalam kasus dimana hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan menafsirkan hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum.
c. Dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada akhirnya hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan dengan tiada membeda-bedakan orang dengan pelbagai resiko yang dihadapinya.
Agar supaya putusan hakim diambil secara adil dan obyektif berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan, maka selain pemeriksaan harus dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum (kecuali Undang-Undang menentukan lain), juga hakim wajib membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipergunakan untuk memutus perkaranya. Demi mencegah subyektivitas seorang hakim, maka Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun tentu saja menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan Pancasila dan “According to the law of civilizied nations.”
Apabila hakim memutus berdasarkan hukum/undang-undang nasional, maka ia tinggal menerapkan isi hukum/undang-undang tersebut, tanpa harus menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat, karena hukum/undang-undang nasional adalah ikatan pembuat Undang-Undang (DPR bersama Pemerintah) atas nama rakyat Indonesia. Akan tetapi bila hukum/undang-undang tersebut adalah produk kolonial atau produk zaman orde lama, maka hakim dapat menafsirkan agar dapat diterapkan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Dalam hal ini hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula dalam hal hukum/undang-undangnya kurang jelas atau belum mengaturnya dan khususnya dalam hal berlakunya hukum adat atau hukum tidak tertulis, maka hakim perlu menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat, hakim harus menemukan hukum yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang baik dalam masyarakat untuk kemudian disaringnya menurut rasa keadilan dan kesadaran hukumnya sendiri, maka hakim berarti telah memutus perkara berdasarkan hukum dan rasa keadilan dalam kasus yang dihadapinya.
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi . Bahkan sering sekali Hakim harus menemukan sendiri hukum itu (rechtsvinding), dan menciptakan Hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutuskan suatu perkara. Hakim atas Inisiatif sendiri harus menemukan hukum.
Premis hakim dianggap mengetahui semua hukum atau curia novit just , menyebabkan hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya. Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/jadge made law).
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah bagaimana peran hakim dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum?
1.3. Tujuan/Manfaat
a. Untuk mengetahui peran hakim dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum, dan
b. Sebagai penambahan ilmu pengetahuan hukum.
B. PEMBAHASAN

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih undang-undang tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.
Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo kegiatan kehidupan manusia sangat luas tidak terhitung jumlahnya dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya yang dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
Selanjutnya Yahya Harahap berpendapat hakim harus memeriksa perkara yang diajukan kepadanya dan untuk itu dia wajib mencari dan menemukan hukum objektif dan materiil yang hendak diterapkan menyelesaikan sengketa dan dalam penyelesaian sengketa tidak boleh berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif hakim, tetapi hakim harus berdasarkan hukum objektif atau materiil yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, yaitu:
1. Rechtsvorming (pembentukan hukum) yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh Pembentuk Undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.
2. Rechtstoepassing (penerapan hukum) yaitu menerapkan peraturan hukum yang abtrak sifatnya pada peristiwanya. untuk itu peristiwa konkrit harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan .
3. Rechtshandhaving (pelaksanaan hukum) dapat menjalankan hukum baik ada sengketa/pelanggaran maupun tanpa pelanggaran.
4. Rechtsshepping (pengciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada.
5. Rechtsvinding (penemuan hukum atau law making) dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu berupa kaedah (das sollen) baik tetulis ataupun tidak tertulis, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa (das sein).
Penemuan hukum (rechtsvinding) dengan pembentukan hukum (rechtsvorming) mempunyai perbedaan. Rechtsvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan. Sedangkan rechtsvorming dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga terdapat penciptaan hukum juga.
Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang dit ugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Menurut ajaran hukum fungsional yang penting ialah pertanyaan bagaimana dalam situasi tertentu dapat diketemukan pemecahannya yang paling baik yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bersama dan dengan harapan yang hidup diantara para warga masyarakat terhadap “permainan kemasyarakatan” yang dikuasai oleh “aturan main”. Disini bukan hasil penemuan hukum yang merupakan titik sentral, walaupun tujuannya adalah menghasilkan putusan, melainkan metode yang digunakan.
Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah harus diketemukan atau digali kaedah atau hukumnya. Melakukan penciptaan hukum untuk mengisi kekosongan hukum adalah suatu hal yang tepat dalam hal menyelesaikan perkara yang tidak ada hukumnya (peraturan perundangundangan). Hal ini adalah suatu kenyataan bahwa pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan hukum yang bersifat umum, sehingga pertimbangan untuk hal-hal yang konkret diserahkan kepada hakim. Selain itu pembuat undang- undang senantiasa tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, sehingga terjadi suatu keadaan sedemikian rupa, adanya hal-hal baru dalam kehidupan masyarakat yang tidak ada peraturan hukumnya. Ini artinya ada kekosongan hukum dalam sistem hukum yang harus diisi oleh hakim.

1. Aliran-aliran dalam Penemuan Hukum
Dalam Penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum tahun 1800 sebagian besar hukum adalah kebiasaan. Hukum kebiasaan ini bermacam ragam sehingga kurang menjamin kepastian hukum. Gagasan ini menimbulkan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam sebuah kitab undang-undang (codex), maka timbullah gerakan kodifikasi yang disertai timbulnya aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan hukum dan peradilan-peradilan yang tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Hukum dan undang-undang itu indentik, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai hukum kalau undang-undang menyetujui . Menurut aliran ini hakim tidak menciptakan hukum, yang oleh Montesquie berpandangan bahwa hakim harus tunduk kepada undang-undang karena hukum itu semua dalam undang-undang.
Ajaran trias politica (Montesquieu) mengatakan bahwa mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-mata adalah hak istimewa dari pembentuk undang-undang, sedangkan kebiasaan bukanlah sumber hukum. Hal senada dengan pandangan ajaran trias politica adalah pandangan ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseau, yang mengatakan bahwa kehendak rakyat bersama adalah kekuasaan tertinggi. Undang–undang sebagai sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber hukum.
Menurut Aliran Begriffsjurisprudenz yang menyatakan bahwa sekalipun undang-undang tidak lengkap tetap mempunyai peran penting yang lebih aktif. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain diantaranya kebiasaan, oleh karena itu dasar dari hukum adalah suatu sistem, azas-azas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap peristiwa kongkrit. Hakim bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus berkerja dalam sistem tertutup.
Pada abad ke-19 lahirlah di Jerman dua aliran yang lebih lunak dari legisme, yaitu mazhab historis dan freirechtschule. Menurut pandangan mazhab historis karena undang-undang tidak lengkap maka disamping undang-undang masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dimana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.
Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (begriffsjurisprudenz), suatu permintaan pengertian. Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah. Sebagai reaksi terhadap aliran legisme pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 dimana suatu ajaran baru, yaitu ajaran tentang kebebasan yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.
Pendapat di atas berdasarkan aliran bebas tersebut telah dijadikan sebagai suatu keharusan atau kewajiban sesuai dengan fungsi hakim dan undang–undang yang berlaku pada saat sekarang ini. Menurut aliran yang berlaku sekarang yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja . Undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang tidaklah lengkap karena tidak mungkin mencakup segala kegiatan kehidupan manusia, kemudian kekosongan tersebut diisi oleh peradilan, disamping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu kebiasaan.
Selanjutnya, mengingat selain sistem hukum Eropa sebagai warisan zaman penjajahan sebagai hukum positif maka di negeri ini dikenal sistem hukum adat dan sistem hukum Islam, maka pengertian nilai hukum yang tumbuh dalam masyarakat menurut ketentuan diatas haruslah diartikan, nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum Islam.

2. Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Metode penemuan hukum bukan metode Ilmu Hukum, karena metode penemuan hukum hanya dapat digunakan dalam praktek hukum . Metode penemuan hukum juga bukan Teori Hukum. Metode penemuan hukum terdiri dari penafsiran hukum, antara lain penafsiran gramatikal; penafsiran sistematis; dan teologis atau sosiologis. Metode penemuan hukum juga mencakup kontruksi hukum, seperti: analogi; argumentum a contrario, dan penghalusan hukum . Metode penemuan hukum hanya digunakan dalam praktek terutama oleh hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
Metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus, kongkrit, dan individual. Jadi, metode penemuan hukum adalah bersifat praktikal, karena lebih dipergunakan dalam praktek hukum. Hasil dari metode penemuan hukum, adalah terciptanya putusan pengadilan yang baik, dan dapat diterima oleh masyarakat maupun Ilmu Pengetahuan, selanjutnya dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan hukum dan Ilmu Hukum, oleh karena itu putusan hakim juga dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam Ilmu Hukum.
Adapun untuk melakukan penciptaan hukum, metode yang dipergunakan adalah metode analogi, disamping itu ada yang menambahkannya dengan metode penghalusan hukum dan argumentum a contrario. Analogi adalah suatu cara penerapan suatu peraturan hukum sedemikian rupa, dimana peraturan hukum tersebut menyebut dengan tegas kejadian yang diatur, kemudian peraturan hukum itu dipergunakan juga oleh hakim terhadap kejadian yang lain yang tidak disebut dalam peraturan hukum itu, tetapi di dalam kejadian ini ada anasir yang mengandung kesamaan dengan anasir di dalam kejadian yang secara tegas diatur oleh peraturan hukum yang dimaksud.
Suatu hal yang menarik dan sangat penting untuk dipertanyakan adalah siapakah yang pantas untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum tersebut. Walaupun dalam kajian akademis yang berhak melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum itu adalah banyak komponen, seperti ahli hukum, Advokat, Dosen, Jaksa dan lainnya, akan tetapi apabila dilihat dari pengertian hukum itu sendiri, yaitu hukum adalah hakim (dalam arti sempit) karena hakimlah yang membuat hukum (judge made law) dan peradilan (dalam arti luas) karena peradilan adalah sarana penegak hukum, maka jelaslah bahwa yang berkompeten untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum tersebut adalah hakim.
Hakim dianggap urgen dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum karena hakim itu mempunyai wibawa. Selebihnya penemuan hukum dan penciptaan hukum yang digali oleh hakim adalah hukum, sedangkan hasil penggalian dari Ilmuan hukum, dosen, peneliti dan lainnya bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Doktrin bukanlah hukum, tetapi adalah sumber hukum, namun apabila doktrin hukum itu dipergunakan oleh hakim barulah doktrin itu menjadi hukum. Persyaratan lainnya untuk penggalian penemuan hukum dan penciptaan hukum dan hal ini harus dimiliki oleh hakim, antara lain adalah penguasaan terhadap ilmu hukum, berpikir secara yuridis, dan berkemampuan memecahkan masalah hukum yang meliputi : ketrampilan merumuskan masalah hukum (legal problem identification), keterampilan memecahkan masalah hukum (legal problem solving) dan keterampilan untuk mengambil putusan (decission making).

C. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Peranan Hakim untuk menggali penemuan hukum dan penciptaan hukum mutlak diperlukan dengan memperhatikan nilai-nilai hukum tidak tertulis dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga lebih memfungsikan yurisprudensi sebagai sumber hukum di Indonesia. Putusan hakim yang mendekati keadilan bukan putusan yang penelarannya menempatkan hakim sebagai corong undang-undang melainkan hakim harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.
2. Dalam memutus suatu perkara hakim harus selalu menggali dan menerapkan hukum yang telah ada dan menemukan hukum baru yang sesuai dengan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat pencari keadilan. Dalam artian bahwa putusan hakim tidak sekedar memenuhi formalitas hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Algra, 1975, Rechtsaanvang, Utrecht: Drukerij Elinkwijk BV.
Cut Asmaul Husna TR, 2012, Penemuan dan Pembentukan Hukum, suatu artikel.
Mahkamah Agung RI, Bina Yustisia, Jakarta, 1994.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cet. II Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 2001.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo 1993 Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Sugijanto, Darmadi, 2006, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan filsafat, Bnadung: Penerbit CV. Mandar Madju.
Sutioso, 2006, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: Penerbit Universitas Islam Indonesia Press.
Yahya Harahap, 2005 , Hukum Acara Perdata, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Jakarta 2009.

Tinggalkan komentar